2
tahun kemudian
Kanaya
berkali-kali membetulkan posisi bingkai foto yang mau dipasang ke dinding. Foto
yang membuatnya bangga, foto wisuda. Senyumnya didalam foto itu pun terlihat
benar-benar cantik, gigi kelincinya terbingkai indah oleh bibir merah jambunya.
Cantik.
“Akhirnya..”
Kanaya melepas nafas lega karena letak foto itu sudah sesuai keinginannya.
Mata
Kanaya mengedar keseluruh ruang kamarnya, hidup Kanaya sudah berubah dia tidak
lagi tinggal di kos-kosan kecil bersama sahabatnya Tika. Sebenarnya Kanaya
lebih memilih tinggal di kos-kosan kecil itu daripada sendirian dikontrakan
mungil yang sepi ini.
Hari
di saat Tika memberikan kabar bahagia bahwa dia akan menikah membuat Kanaya
merasa lagi-lagi dia akan ditinggalkan orang yang disayanginya. Setelah menikah
tentu saja Tika harus tinggal di rumah suaminya dan tanpa keberadaan Tika
kos-kosan tersebut sudah tidak nyaman untuk Kanaya.
Saat
Tika memperkenalkan calon suaminya yang seorang guru dengan bangga mengatakan
mempercayakan seluruh kebahagiaannya kepada seorang guru honorer. Keluarga
kecil itu akan bahagia Kanaya yakin itu walau kehidupan yang akan dijalani Tika
hanyalah hidup sederhana dan itu cukup baginya. Begitulah Tika, hidupnya,
pikirannya dan cita-citanya sangat sederhana.
Andai
hidup Kanaya sesederhana itu mungkin Kanaya akan lebih bahagia dengan apa yang
dimilikinya. Rumah ini begitu dingin dan Kanaya benci sepi. Kanaya menatap
fotonya yang sedang memeluk Tika dari belakang. Banyak orang bilang semakin
dewasa teman itu seperti kerucut, makin sedikit. Semenjak di Jakarta hanya Tika
lah sahabatnya yang dimiliknya setelah Tika menikah hidup Kanaya pun semakin
sepi.
“Nggak
semua orang seburuk apa yang lu pikir dan lu kudu belajar membuka diri untuk
berteman” ucap Tika suatu hari.
Kanaya
tersenyum miris.
“Mereka
yang nggak mau jadi temen gue karena mereka terlalu sibuk buat iri dengan apa
yang gue punya dan gue dapat. Yang mereka tahu gue selalu pulang malam karena
kerja di kafe dan selalu bilang kalau gue tuh cewek nggak bener, mencibir tanpa
tahu kalau gue mati-matian kerja pulang pagi buat hidup di Jakarta dan mempertahankan
beasiswa gue tanpa bergantung pada siapa-siapa.”
Tika
menatap dalam manik mata Kanaya.
“Itu
salahnya elu, lebih cepat berburuk sangka dan itu bikin lu jadi skeptik”
“Au
ah!”
Hanya
dua kata itu yang mampu mengakhiri debat diantara mereka dan Tika sudah paham
betul bagaimana sifat sahabatnya dan melanjutkan perdebatan ini hanya membuat
mereka bertengkar lagi. Meskipun keesokan harinya mereka sibuk mencari cara
untuk berbaikan. Bagi Tika menjadi sahabat bukan hanya bisa menyediakan waktu
untuk sekadar berbagi suka dan duka tapi lebih dari itu hakekatnya persahabat
bagi Tika adalah sebuah rambu-rambu yang menjadi petunjuk agar kita tidak
memilih jalan yang salah dan sampai ke tempat tujuan dengan selamat.
Sahabat yang baik mampu mengatakan salah
jika sahabatnya memang berbuat salah lalu setia disisinya hingga sang sahabat
mampu memperbaiki kesalahannya. Kebanyakan persahabatan berakhir justru karena
mereka mampu mengatakan salah tapi setelah itu meninggalkannya. Dan bagi Kanaya
sendiri persabatan adalah sebuah oase yang mampu memberikannya kesejukan dan
itu hanya ditemukan dari Tika.
Sebuah
lagu dari Elvis Costello yang juga merupakan soundtrack dari film box office
nothing hill, she mengalun lembut mengisi seluruh kekosongan yang ada dihadapan
Kanaya. Diraihnya handphone yang berdering memecahkan kesyahduan syair yang
begitu memuja wanita. Sebuah nomor yang tidak dikenal muncul di layar handphone
keluaran terbaru itu.
“Halo”
“Ka..
Kanaya.. apa betul ini nomor Kanaya?”
Suara
ini adalah suara yang sangat Kanaya kenal, suara yang sangat Kanaya rindukan.
Suara wanita yang membesarkannya dengan kasih yang tidak pernag didapatnya dari
seorang ibu.
“Bu
Aini? Iya benar aku Kanaya bu” jawab Kanaya dengan suara bergetar.
Hanya
sebuah suara dan kenangan bahagia masa kecil yang tidak pernah sepi menguntai
kembali dalam benak Kanaya. Wajah ibu panti dan teman-teman seasrama yang sudah
hampir 6 tahun tidak pernah ditemuinya itu bermunculan satu-persatu seperti
sebuah proyeksi yang silih berganti. Tiba-tiba rasa rindu itu membuncah.
Orang-orang
yang selalu mendukungnya kini menanti sebuah uluran dari Kanaya, orang-orang
yang hampir Kanaya lupakan pernah mencintainya. Hari ini seperti sebuah titik
balik masa lalu Kanaya yang tidak tersentuh masa sekarang tiba-tiba muncul dan
mengaduk-aduk perasaanya. Senyum itu muncul lagi di wajahnya.
Perasaan
hangat yang menelusup kedalam hati Kanaya seperti baru kali ini ia rasakan,
perasaan bahwa ada keluarga yang menunggunya pulang. Hatinya sudah lama tidak
berdebar sekencang ini hanya untuk menemui keluarga. Mereka lah keluarga yang
akan senantiasa menunggu dan mendukungnya, keluarga yang seberapa jauh pun
Kanaya berjalan dan sempat terlupakan masih menganggapnya bagian dari keluarga
tanpa ikatan darah itu. Sebagian orang selalu berpendapat darah lebih kental
dari air lalu kenapa mereka tidak bisa membuka mata bahwa ada begitu banyak
kasus yang justru berubah jadi perang saudara, perang sedarah. Apa perbandingan
tersebut masih layak diucapkan jika lebih banyak orang selalu menggunakan
pepatah tiada rotan akar pun jadi?.
“Sebenarnya
ibu malu meminta bantuan kamu, sekarang kamu pasti sudah jadi orang sibuk kan?,
Apa tisak apa-apa kamu mengurusi masalah panti?” suara penuh khawatir ini
rasanya begitu syahdu diteleinga Kanaya.
“Sejujurnya
aku malah malu bu, sudah lama sekali aku pergi dan nggak sekalipun aku
mengunjungi panti, saudara-saudara aku, keluarga aku bu dan aku bahagia sekali
ibu justru menghubungi aku.”
Bu
Aini menggengam tangan Kanaya, sentuhan pertama setelah 6 tahun berlalu.
Hangat.
“Ada
satu hal lagi yang mengganjal nak” kata Bu Aini ragu.
“apa
bu?, cerita aja.. siapa tahu bisa jadi bahan tambahan”
“Bukan
itu, kamu toh sudah menjadi pengacara dan bayaran kamu pasti mahal sekali
sedangkan kemampuan pant….”
“Sssst!!”
“Mana
ada sih bu anak yang meminta bayaran untuk berbakti pada orang tuanya” sambung
Kanaya.
Genggaman
Bu Aini lebih kuat setelah mendengar jawaban putrinya yang sempat hilang.
Kanaya melihat keluar ruangan kantor panti karena suara gaduh. Seorang gadis
usia 15 tahun mencoba menyeruak masuk ke dalam kantor. Wajah yang tidak asing
dalam ingatan Kanaya.
“Mbak…
mbak Kanaya ingat aku nggak?” tanyanya disela-selan nafasnya yang terputus.
“Hm…
siapa yah?”
Kekecewaan
tergambar jelas dari wajah gadis itu setelah menyadari Kanaya melupakannya.
“Sinta!
Masa mbak bisa lupa sama kamu, nggak mungkin kan? Masih ngompol dia bu?” Ledek
Kanaya.
“Nggak
lah mbak! Masa sudah besar begini aku masih ngompol” Sinta langsung duduk
disamping Kanaya dan memeluknya.
Kehangatan
itu tidak hanya memenuhi ruangan panti ini tapi sudah benar-benar menguasai
hati Kanaya. Apapun yang terjadi tidak ada yang boleh mengusik keluarga ini,
orang-orang yang Kanaya sayangi. Dalam hati Kanaya berjanji akan melindungi
panti ini dengan sekuat tenaganya karena dari sinilah dia berasal. Disinilah
dia tumbuh menjadi wanita yang tangguh dan wanita yang selalu bersahabat dengan
kerja keras.
***
“Perusahaan
ini memiliki banyak karyawan yang perlu digaji Naya dan menangani kasus panti
asuhan seperti ini hanya buang-buang waktu”.
“Saya
hanya butuh izin dari bapak untuk menangani kasus ini dan biar saya sendiri
yang menanganinya” ucap Kanaya mencoba sekali lagi membujuk bosnya.
“Kanaya!!!
Bukan masalah siapa yang akan menangani kasus ini tapi masalahnya ada di uang.
Kasus ini tidak akan menghasilkan apa-apa” bentak si bos.
Kanaya
tersenyum kecut lalu melangkah pergi tanpa mengucapkan apa-apa. Kanaya tahu
dari dulu uang adalah segalanya, Tuhan semua manusia bukanlah Tuhan yang Maha
Esa tapi mereka yang menjadikan uang sebagai Tuhan mereka. Money can buy
anything bahkan harga diri. Undang-undang Dasar 1945 pasal 34 ayat (1)
mengatakan bahwa orang miskin, wanita dan anak-anak terlantar dilindungi oleh
Negara.Di panti asuhan itu semua orang miskin, ada wanita dan anak-anak
terlantar yang bergantung hidupnya untuk tinggal disana. Harusnya seorang
pengacara hafal diluar kepala macam-macam UUD sejenis ini bukan hanya satu
pasal dan satu ayat yang mengatur tentang masalah fakir miskin tapi apa daya
jika pemerintahan dan orang-orang yang tahu hukum saja hanya tunduk karena
uang. Mungkin pemerintah harus banyak merombak ulang pasal-pasal yang ada dalam
UUD Negara.
Kanaya
menandatangani formulir cutinya, hanya ini satu-satunya cara agar Kanaya
leluasa menyelamatkan keluarganya. Setidaknya selama cuti dua minggu ini Kanaya
akan mampu menyelesaikan sengketa tanah panti asuhan. Beberapa berkas Kanaya
pelajari dengan seksama ini adalah kasus pertama yang ditanganinya sendiri.
Sebuah
perusahaan tekstile yang sedang berkembang mencoba membuka cabang baru dengan
membangun sebuah gedung untuk dijadikan sebuah gedung produksi. Sejumlah
penawaran pun ditawarkan pihak perusahaan tapi sayangnya beberapa warga menolak
untuk menjual tanah mereka termasuk sebuah panti. Beberapa tindakan yang tidak
meyenangkan berupa tekanan diduga dilakukan pihak perusahaan guna membuat warga
segera menyetujui penawaran yang telah diajukan.
Dari
103 kepala keluarga yang berada dalam wilayah yang ingin dibeli hampir 75%
menerima harga yang ditawarkan perusahaan dan sisanya menolak dengan alasan
bahwa tanah yang mereka tinggali adalah tanah turun temurun yang harus dijaga.
“fiuh..”
Kanaya menutup berkas yang sudah berulang kali dibaca.
Kanaya
membuang nafasnya berat, sebenarnya bagi perusahaan lawyer tempatnya bekerja
ini hanyalah sebuah kasus sepele tapi ini adalah kasus pertama yang Kanaya
tangani sendiri. Pengacara pihak lawan yang akan Kanaya hadapi pun dia tidak
tahu seperti apa. Besok adalah hari debutnya sebagai pengacara tunggal. Dan
dalam hati lirih Kanaya berdoa kepada yang Maha Kuasa agar meminjamkan
kekuatan-Nya untuk membantu keluarganya.
Esoknya
Kanaya meminta bu Aini mengumpulkan seluruh kepala keluarga yang tidak setuju
dengan penggusuran tanah untuk mengadakan rapat darurat sebelum Kanaya menemui perwakilan
dari pihak perusahaan.
Dalam
rapat itu Kanaya membahas seluruh sebab akibat yang akan mereka hadapi dengan
pengajuan penolakan penggusuran ini. Berbagai macam alasan mereka kemukakan
dari uang penggantian yang tidak sesuai dengan harga tanah gusuran dan alasan
pribadi lainnya berupa rasa cinta ingin mempertahankan tanah turun termurun
keluarga.
“Hanya
tanah ini yang kami punya, tanah yang merupakan warisan keluarga yang ibu
gunakan sebagai tempat perlindungan untuk anak-anak yang bahkan pemerintah
memandang rendah mereka. Tanah tempat puluhan anak manusia yang tidak
diinginkan keberadaannya berjuang hidup. Kamu bisa merasakannya kan, Nay?”
Tanya bu Aini dan tentu saja aku mengangguk. Bagaimana aku bisa melupakan tanah
yang selama 13 tahun aku berjuang hidup dari seorang anak yang dibuang menjadi
manusia dengan harga diri yang tinggi.
“Aku
akan beusaha semampu aku bu untuk menyelamatkan panti ini” Janji Kanaya dengan
menggengam tangan wanita yang sudah dianggap seperti ibunya sendiri.
Beberapa
opsi kemungkinan yang mungkin akan muncul setelah mereka menyampaikan keberatan
dengan pihak perusahaan telah Kanaya sampaikan dari kemungkinan terburuk dan
terbaik ayang kan mereka terima.
***
Siang
itu Kanaya melirik jam tangannya berkali-kali, sudah hampir satu jam lewat dari
waktu yang telah dijanjikan. Udara panas berhembus membuat hati mereka semakin
berdebar tidak terkendali saat dua mobil mewah memasuki kawasan panti.
Kanaya
juga sama tegangnya dengan semua perwakilan dari tiap-tiap keluarga. Ditariknya
nafas dalam-dalam lalu dihembuskannya perlahan menguatkan rasa percaya diri
yang mulai goyah melihat keangkuhan si pemilik perusahaan.
“Saya
Kanaya..” Kanaya megulurkan tangannya memberi salam tapi laki-laki dihadapannya
sama sekali tidak memberikan sambutan. Kanaya menarik pahit tangannya yang
terulur. Wajah tampan, tubuh tinggi, setidaknya secara keseluruhan fisik lelaki
di hadapan Kanaya bisa dibilang sempurna tapi bertolak belakang dengan
kesombongan dan keangkuhan yang terlihat jelas dari wajahnya. Ekspresi wajahnya
yang seoleh sedang membuang-buang waktu berada disini, hari ini membuat kesal
Kanaya.
“Saya
Kanaya Pengacara dari pihak warga”
“Saya
Januar, Pengacara Perusahaan PT. Gootekstile” sebuah tangan terulur dihadapan
Kanaya.
Kanaya menjabat tangan Januar dan sepintas
melirik laki-laki angkuh tapi memiliki aura terhormat yang sangat tinggi.
Beberapa orang yang entah apanya lelaki ini mengekori sang majikan yang mulai
melangkah maju menuju ruang serbaguna panti.
“Di
dalam berkas tersebut sudah kami lampirkan beberapa alasan kami melakukan
penolakan ini, kami harap permasalahan ini tidak berlanjut dan dapat
diselesaikan secara kekeluargaan” ucap Kanaya tegas.
Januar
dan beberapa orang yang tadi mengekori majikannya membaca berkas tersebut
dengan teliti tetapi sang bos hanya memolak-balik kertas tersebut dengan segan.
Rasanya ingin sekali Kanaya menjambak-jambak rambut lelaki sombong ini.
“Maaf
pak, entah kenapa saya merasa bapak sama sekali tidak tertarik dengan isi
berkas yang kami ajukan. Berkas yang sedari tadi hanya bapak bolak-balik itu
adalah apa yang ada di hati semua pemilik tanah ini. Saya harap bapak bisa
memahami isi seluruh berkas tersebut dengan membacanya secara teliti” pinta
Kanaya dengan nada sedikit menyindir.
Seluruh
orang yang ada di dalam ruang hanya bisa diam mendengar kata-kata Kanaya.
Mereka saling melirik menunggu reaksi sang bos angkuh tersebut.
“Hanya
25% dari keseluruhan warga yang menolak kenapa harus membuang-buang waktu
seperti ini? Dalam 3 hari bereskan semuanya!”
Setelah
mengatakan perintah yang seperti titah raja itu sang bos angkuh melangkah
pergi, seluruh penghuni ruangan hanya mampu menelan ludah. Uang sekali lagi
menunjukan kekuatannya pada Kanaya dan itu membuat Kanaya berang.
“Bapak
Erick yang terhormat, 25% yang Anda abaikan akan kubuat menjadi 100% sampai
satu batu bata pun tidak akan menyentuh tanah ini dan pabrik itu akan pernah
berdiri disini” tantang Kanaya emosi.
Kata-kata tersebut mampu menahan langkah Erick,
sekilas di wajah lelaki bujang yang tahun ini berusia 36 tahun itu
melengkungkan sebuah senyum.
“Berapa
pun yang diperlukan dan apapun yang harus dilakukan kalian harus pastikan 25%
itu menjadi NOL!!. Laporkan semuanya dalam 3 hari!!.” Perintahnya tanpa
sedikitpun keraguan lalu melangkah pergi setelah menunjukan bahwa yang berkuasa
adalah dia yang memiliki uang. Dan seluruh budak-budaknya pun pergi mengikuti
sang majikan.
“ITU
TIDAK AKAN TERJADI!!” teriak Kanaya dan mereka tetap pergi.
Suasana
ruang mulai memanas, riuh rendah suara saling sahut menyahut dan mulai ricuh
menanggapi kejadian baru saja mereka saksikan. Kanaya menatap bu Aini yang rasa
putus asa terlihat jelas di wajahnya. Beberapa perwakilan dari kepala keluarga
memberikan dukungan mereka kepada Kanaya dan banyak juga yang menyayangkan apa
yang Kanaya lakukan.
***
“Kanaya!!”
Kanaya
menghentikan langkahnya dan mencari asal suara. Januar si pengacara tim lawan
itu melambaikan tangannya dan berjalan menghampiri Kanaya. Januar tersenyum
seperti seorang kawan yang lama tidak berjumpa.
“Apa
kabar?” tanyanya saat berdiri disisi Kanaya.
“buruk”
“Kenapa?”
“…”
“Aah..
lu pasti lupa sama gue kan? Gue Janu..”
“Basi
banget sih lo, awas gue mau pulang”
hardik Kanaya, wanita ini terbiasa dengan jurus-jurus mengajak kenalan seperti
ini dan itu tidak akan mempan untuknya.
“fiuh..
ternyata lo bener-benr lupa yah.. taksi.. hotel akasia.. 2 tahun yang lalu…”
Ujar Januar tetap berusaha membuat Kanaya mengingatnya.
Dan
sekelebat memori di kepala Kanaya melayang membuka folder 2 tahun lalu sebuah
hotel dan taksi lalu wajah asing yang berebut taksi dan akhirnya menemani
Kanaya menikmati lukanya. Lalu kenangan terakhir yang muncul adalah Arya.
Kanaya
tersenyum.
Januar
pun tersenyum yakin kalau sekarang Kanaya sudah mengingatnya.
Suasana
pecel ayam malam itu agak sedikit ramai, dari tadi siang Kanaya belum makan
apa-apa kepalanya penuh dengan kasus yang harus ditanganinya ini dan itu
membuat rasa laparnya hilang entah kemana. Janu menatap kagum wanita
dihadapannya tanpa rasa malu Kanaya melahap pecel ayamnya dengan nikmat seolah
Janu adalah teman baik yang tidak memerlukan gengsi saat bersama. Rasanya
bersama Janu semua terasa ajaib.
Dalam
seminggu ini banyak hal-hal yang tidak terduga menghampiri Kanaya, 6 tahun
menghilang dan pihak panti mencarinya lalu pria yang ditemui tanpa sengaja 2
tahun yang lalu muncul dihadapannya. Dunia memang selebar daun kelor.
Waktu
bukan masalah bagi Tuhan jika dia ingin memberikan kejutan kepada hamba-Nya.
***
Kanaya
dan 25% kepala keluarga bergerak cepat yang harus dilakukan hanyalah meningkatkan
25% dengan melakukan pendekatan secara langsung kepada warga yang bersedia
untuk digusur. Meraka hanya memiliki sedikit waktu sampai pihak lawan melakukan
aksinya. Entah apa yang akan mereka lakukan yang jelas dengan tekad yang kuat
Kanaya harus bergerak lebih cepat.
Mereka
mendatangi satu persatu rumah warga dan mejelaskan apa yang akan mengancam
lingkungan mereka jika mereka membiarkan pabrik tekstil tersebut berdiri. Dari
data yang Kanaya kumpulkan ada beberapa keluhan yang dirasakan warga tempat
sekitar pabrik lama PT. Goodtekstil tersebut seperti asap panas dan limbah
sampah serta limbah cairan kimia yang baunya mengganggu kehidupan sehari-hari
mereka.
Beberapa
dari mereka ada yang menerima dengan baik apa yang kami sampaikan dan ada juga yang
bersedia memikirkannya terlebih dulu sebelum memutuskan akan berada di kubu
mana sedang sisa yang lainnya, yang kehidupannya begitu bersujud kepada uang
tetap dengan pendirian mereka.
Drrrt,,,
drrrt,,,
Sepertinya ada yang
aneh, mereka sama sekali belum melakukan apa-apa
From:
Janu
“Apa
mereka begitu menanggap enteng masalah ini?. Benar-benar menyebalkan!!” gerutu
Kanaya setelah membaca sms dari Janu.
Informasi
dari Janu membuat Kanaya justru semakin khawatir, sangat aneh jika pihak lawan
belum melakukan apa-apa. Dengan keberadaan Janu yang sedikit berpihak kepadanya
membuat Kanaya merasa akan mampu memenangkan kasus ini. Lagipula jika bukan
karena perusahaan yang mengirimnya sebagai perwakilan Janu akan dengan senang
dan sepenuh hati membantu Kanaya.
Sudah
dua hari dan Kanaya belum juga mendapatkan kabar dari pihak lawan itu artinya
besok adalah hari penentuan sedangkan masih ada beberapa warga yang masih belum
memberikan jawaban. Mereka tidak punya banyak waktu lagi. Bisakah waktu
berjalan lamban? Kanaya mendesah menatap lembaran kertas ditangannya setidaknya
walau hanya sedikit 25% tersebut sudah meningkat.
“Mbak
Naya!!! Mbak Naya!!!”
Sinta
berlari menghampiri Kanaya, nafasnya memburu dan hanya mampu melambaikan kertas
kehadapan Kanaya.
“ini..
tanda tangan beberapa warga… semuanya ada 23 kepala keluarga” ucap Sinta
disela-sela nafasnya yang memburu.
Kanaya
mengambil kertas ditangan Sinta dan tersenyum, semua tidak sia-sia.
“Kata
pak RT.. beliau masih akan mencoba membujuk beberapa warga setidaknya sampai
malam nanti kita baru akan tahu hasilnya”
"Itu
bagus Sin, Mbak sudah nggak sabar ingin melihat ekspresi si kepala batu itu
melihat hasil kerja keras kita” ujar Kanaya.
Bukan
hanya Kanaya dan seluruh penghuni panti saja yang tidak sabar menyambut hari esok,
seluruh warga yang berkerja sama saling membantu pun terus memberikan dukungan
kepada Kanaya. Bagi Kanaya ini adalah sebuah penghargaan bagi dirinya,
disinilah wanita berhati penuh luka merasa dibutuhkan orang lain. Ada
orang-orang yang selalu menanti kedatangannya dan percaya kepadanya bukan
memanfaatkannya.
Kanaya
menatap langit Jakarta dari teras panti, bintang yang bertabur di langit
menggoda Kanaya dengan kelap-kelipnya walau hanya dengan cahaya yang nyaris
redup. Malam yang dingin, angin yang berhembus juga dingin tapi tidak dengan
hati Kanaya ada kehangatan yang menentramkan.
Kanaya
menghirup dalam udara khas polusi Jakarta menutup matanya dan berdoa dalam hati
Tuhan
yang Maha Kuasa berikanlah kepadaku kekuatan seperti Engkau memberikan kekuatan
pada karang yang terhempas gelombang ombak dan kehangatan seperti mentari pagi
hari yang selalu mengawali hari dengan indah. Hanya kepada-Mulah aku memohon
kekuatan dan berserah diri.
Baru
kali ini semenjak malam Kanaya melepaskan kepergian Tika menuju rumah suaminya
tidak dapat memejamkan mata. Seluruh panti sudah lelap dalam tidur mereka yang
terbuai mimpi dan mereka percaya mampu mereka wujudkan juga dalam selimut doa
kepada yang Maha Kuasa yang selalu melindungi hamba-Nya.
“belum
tidur Nay?”
“Aku
nggak bisa tidur bu” jawabnya
“kenapa?
Kamu ndak betah yah tidur di kamar bareng yang lain?” selidik Bu Aini.
“Sama
sekali nggak bu, aku juga kan tumbuh besar disini masa aku nggak betah sama
kampung halaman sendiri.”
“Syukurlah
kalau kamu berfikir begitu, ibu khawatir kamu merasa terbebani dengan kami Nay”
kekhawatiran itu terlihat jelas di wajah Bu
Aini yang sudah menginjak usia senja.
“Nggak
bu, ini memang tugas aku sebagai seorang pengacara ataupun seorang anak yang
wajib berbakti kepada orang tuanya dan memberikan perlindungan kepada
saudaranya. Hanya ini yang mampu Nay lakukan bu jadi ibu jangan khawatir
semuanya sudah Nay pikirkan matang-matang” kataku penuh keyakinan.
Kupeluk
dari samping wanita penuh kasih ini memberikan kehangatan yang sedang kurasakan
dalam dinginnya angin malam. Di usapnya pipiku lembut dan kehangatan itu
semakin menentramkan hati.
Matahari
menenggelamkan malam dalam kehangatan sinarnya. Segaris cahaya menerobos masuk
melalui celah jendela seperti harapan yang tumbuh dalam keraguan. Hari masih
pagi tapi Kanaya sudah terlihat sibuk di depan laptopnya mempersiapkan semuanya
dengan baik. Dia tidak ingin ada kesalahan sedikitpun dalam menyelesaikan kasus
ini. Beberapa info yang Kanaya dapat dari Janu harus Kanaya cek lagi
kebenarannya bukan karena Kanaya meragukan Janu yang merupakan pengacara pihak
lawan tapi hanya untuk lebih meyakinkan bahwa info yang Janu berikan bisa
menjadi senjata yang mematikan lawan. Semua harus berjalan sempurna.
“ini
bukan jebakan kan?”
“skeptik
lagi.. kenapa sih lo harus kayak gitu.. ini murni bantuan gue sebagai teman
tapi dengan syarat jangan sampe bos gue tahu, yah! Kalau nggak gue bakal errrrr”
kata Janu sambil berakting memotong lehernya.
Hanya
itu jawaban yang Janu berikan saat Kanaya bertanya mengapa Janu membantunya
sementara Janu merupakan pengacara yang disewa untuk melawannya. Kanaya tidak
pernah mampu menebak apa yang ada dalam pikiran Janu karena apa yang Janu
katakan dan lakukan semuanya terasa spontan, tiba-tiba dan tidak terduga.
Hanya
satu hari dan itu pun hanya sebentar Kanaya dan Janu bertemu hanya seseorang
yang ditemui tidak sengaja di jalan tapi
dua tahun kemudian dengan sebuah kebetulan yang telah diatur Tuhan yang Maha
Pengasih mereka dipertemukan lagi. Disinilah tangan Tuhan berperan dalam
menentukan takdir hamba-hamba-Nya. Tidak ada sesuatu yang terjadi di dunia ini
secara kebetulan semua sudah ditakdirkan Tuhan dan manusia lah yang menentukan
bagaimana mereka memilih jalan untuk mencapai takdir tersebut.
Suara
derap langkah kaki yang berlari menuju kamar Kanaya semakin nyata.
“Si
botak udah datang mbak” kepala Sinta menyembul dari balik pintu, nafasnya masih
memburu karena berlari dari kantor panti
ke kamarnya hanya untuk memberitahu kalau tuan Erick yang terhormat sudah
datang.
“Ayo,,
kita tendang si botak dari kampong ini” ajak Kanaya penuh semangat.
Kanaya
berjalan dengan penuh percaya diri sebenarnya ada sedikit takut dalam hatinya
tapi saat melihat Janu tersenyum kilat kepadanya membuatnya seperti mendapat
tambahan semangat.
Erick
sudah duduk dengan penuh congkak dan hanya melirik Kanaya sekilas sedangkan
semua orang yang dari pihak kampong menatap Kanaya penuh harapan. Kanaya tahu
tidak perlu berbasa-basi untuk menghadapi orang seprti Erick. Kanaya hanya
menyodorkan lembaran tanda tangan dari warga kepada Erick tapi Erick hanya diam
seperti raja yang tiak terjamah.
Janu
yang pagi itu berperan sebagai dirinya sendiri, sang pengacara yang berkhianat
dan memihak lawan berakting seolah dia tidak tahu apa-apa. Janu meraih lembaran
yang Kanaya sodorkan membulak-baliknya.
“25%
itu sudah berubah, sekarang berdasarkan tanda tangan warga yang telah setuju
untuk menolak penggusuran ini totalnya
berubah dari 25% menjadi 67%. Dan berdasarkan hukum penggusuran ini bisa
dibatalkan” ucap Kanaya.
Mendengar
penjelasan Kanaya, Erick hanya tersenyum. Semua yang berada diruangan tersebut
menunggu bagaimana reaksinya.
“Kurang
dari tiga hari dan mampu membuat jarak sebanyak 42% itu mengejutkan. Ok! Kita
akhiri saja sampai disini.” Ucapnya masih dengan nada sombongnya lalu Erick
bangkit dan mengulurkan tangan untuk memberikan selamat kepada Kanaya.
Awalnya
Kanaya ragu tapi sesaat kemudian Kanaya menyambut tangan Erick dan menjabatnya
erat. Ada senyum yang sekejap terlihat diwajah Erick saat Kanaya menjabat
tangannya. Erick melangkah pergi disusul dengan asistennya dan Janu yang keluar
paling terakhir.
Setelah
Erick benar-benar menghilang tidak terlihat lagi seluruh orang yang ada dalam
ruangan mulai bersorak gembira. Euforia ini membuat suasana haru dan bahagia
yang membuncah. Tapi Kanaya justru berlari mengejar Erick.
“Tunggu!!”
teriak Kanaya enghentikan langkah Erick yang hendak memasuki mobil mewahnya.
“Hanya
sebuah rekomendasi tapi saya harap ini bisa membantu anda menemukan lokasi yang
tepat” kata Kanaya sambil menyerahkan sebuah dokumen kepada Erick. Erick
menerimanya tanpa suara dan ekspresi yang datar.
“Dan
juga.. terima kasih”
Erick
masuk kedalam mobil lalu meninggalkan panti dengan suasana hati yang berbeda.
Tidak ada gurat kecewa karena sudah kalah malah sebuah senyum melengkung indah
diwajah kakunya.
***
“Ah
payah nih.. masa menang tender gue cuma ditraktir soto ayam Surabaya” keluh
Janu sambil mengaduk-aduk isi soto yang tersaji dihadapannya.
“Kan
lu tahu sendiri kasus ini tuh bukan job dari perusahaan gue” kata Kanaya dengan
mulut penuh soto.
“iya..
iya yahu gue, mata lu biasa aja lah nggak pake melotot berapa sih?”
Mendengar
protes Janu membuat senyum di wajah Kanaya merekah indah. Sungguh dimata Janu
wanita ini memancarkan cahaya kesederhanaan yang kuat, sederhana dan kuat.
“By
the way lu kok santai banget jadi penghianat si botak itu? Kan gitu-gitu dia
yang bayar lu?” Tanya Kanaya penasaran.
“Ah
nggak usah dipikirin, gue juga nggak tahu kenapa bisa gampang banget ngasih
info ke pihak musuh tapi setidaknya gue kan dan cariin si botak lahan baru buat
pabriknya” jawab Janu nyantai.
“Hm…
jangan-jangan karena lu suka sama gue yah?”
Mendengar
kalimat tersebut meluncur indah dari bibir Kanaya membuat soto yang sedang
asyik dilahap Janu melesak keluar. Dan melihat hal teersebut malah membuat
Kanaya tertawa terbahak-bahak karena ekspresi wajauh Janu yang lucu.
“Jangan
GE-ER lu.. itu karena gue suka sama bu Aini, melihat bu Aini kayak gue ngeliat
nyokap gue sendiri”
Tapi
Kanaya masih tetap tertawa.
Tetaplah tertawa
dan tersenyum seperti ini Nay, sungguh kamu cantik sekali.
Seminggu
telah berlalu dan semua kembali pada rutinitas masing-masing, pekerjaan kantoe
yang seminggu ditinggalkan Kanaya menumpuk hingga membuatnya tak bisa menikmati
weekend minggu ini. Janu berulang kali mengajak Kanaya untuk pergi makan keluar
tapi Kanaya selalu menolak dengan aalasan harus lembur. Entah mengapa Kanaya menangkap perasaan
berbeda dari Janu, perasaan yang selalu Kanaya coba hindari. Cinta. Perasaan
cinta sudah tertinggal jauh dari hatinya, kesakitan dan kekecewaan pada
perasaan bernama cinta membuat Kanaya memutuskan utuk mencintai dirinya
sendiri.
Tapi
terus menerus menolak ajakan Janu membuat Kanaya merasa tidak enak mengingat
pertlongan yang Janu berikan padanya tempo hari.
“Minggu
gue baru bisa Jan” jawab Kanaya akhirnya.
Dan
suara gembira di ujung telepon sana membuat Kanaya melengkungkan senyum yang
jarang dia tebarkan.
“Kalau
begitu jam 10 pagi gue jemput, masalah tempat biar gue yang atur. Pokonya
dijamin nggak garig deh” ujar Janu dengan suara antusias.
“Yah
terserah lo dah, gue sih ikut aja”
Bagi
Kanaya Janu adalah salah satu orang yang mampu mengisai hari-harinya dengan
senyum meningat Janu sendiri adalah orang yang periang dan mampu mambangun
suasana. Tapi hanya sebatas itu Kanya belum berani untuk merasakan perasaan
terbang ke angkasa karena di mabuk cinta. Mungkin besok malam Kanaya harus
menegaskan batas yang telah dia pilih untuk Janu.
Kanaya
menatap aneh layar laptopnya, sebuah email masuk dengan user nama yang tidak
dikenalnya. Dibukanya email tersebut dan yang membuat Kanaya tersenyum risih
adalah isi email tersebut hanya berupa ungkapan “aku mencintaimu Kanaya” dari
berbagai Negara.
Aku
mencintaimu Kanaya
I
Love You Kanaya
Aishiteru
Kanaya
(ntar
gue cari dulu di mbah gugel)
“orang
gila!!” desis Kanaya lalu menutup laptopnya dan bergegas pulang karena sudah
jam 8 malam.
Suasana
kantor bisa dibilang sepi karena hanya beberapa orang saja yang bersedia lembur
dimalam minggu seperti ini dan sepertinya mereka semua adalah jomblo sama
seperti Kanaya. Yang mencoba menyibukan diri hanya untuk mencari alasan saat
ditanya tentang pacar mereka.
“Mbak
Kanaya… mbak Kanaya” suara khas yang selalu menyapa Kanaya setiap pagi
memanggilnya dari pos jaga sekuriti di depan loby.
“Ada
apa pak Soleh?”
“ini
mbak ada kiriman bunga buat mbak sama kado ini juga buat mbak” jawab pak soleh
sambil menyerahkan bunga dan kotak kado ketangan Kanaya.
“buat
saya? Dari siapa pak?”
“Ndak
tahu mbak, sudah yah mbak saya mau jaga pos dulu” ucap pak soleh undur diri
Kanaya
melihat bunga dan ado yang ada di tangannya mencoba mencari kartu ucapan yang
biasanya disematkan diantara kelopak mawar yang merekah indah tapi tidak ada
apa-apa dibunga tersebut. Kanaya melanjutkan langkahnya untuk pulang dan segera
ingin melepaskan lelahnya.
“email,
bunga dan kado yang belun dibuka ini pasti ulah Janu, dasar iseng” batin
Kanaya.
Selesai
mandi dan makan malam dengan sebungkus mie instan Kanaya kembali memeriksa
laporan yang tadi dikerjakannya dikantor. Walau badan dan mata sudah menuntut
untuk di istirahatkan nmun kebiasaan memeriksa ulang pekerjaanya membuat Kanaya
masih terjaga.
Berbagai
perkara dan kasus yang masuk tidak ada yang menarik hanya tuntutan harta gono
gini, pencemaran nama baik dan perebutan harta dengan mengaku sebagai ahli
waris yang sah. Bukankah kasus-kasus tersebut bisa diselesaikan dengan cara
kekeluargaan dan disinilah kerakusan sfat manusia menunjukan taringnya.
Perasaan ingin memiliki membuat mereka selalu mengajukan banding karena apa
yang mereka harapkan tidak sesua denan keputusan pegadilan. Dari kerakusan
mereka lah Kanaya da teman-temannya bisa bekerja dan hidup
Fiuuuuh…
Kanaya
membuang nafasnya panjang matanya sudah tidak mampu menatap layar laptonya
lebih lama lagi dan memang sudah waktunya untuk tidur tapi langkah Kanaya
terhenti saat melihat buquet bunga dank ado yang belum dibuknya tergeletak
dimeja samping ranjang.
Kanaya
meraih kotak berwarna krem itu dan mulai membukanya, sebuah gaun berwarna
kuning gading daribahan yang Kanaya tahu tidak murah ini terlihat cantik. Ada
sebuah kartu ucapan didalam kotak tersebut.
Gaun
cantik untuk orang yang paling cantik
J.E.S
Kanaya
meraih Handphonenya mencoba menelpon Janu setelah melihat inisial nama dalam
kartu tersebut tapi urung dilakukan karena ini sudah tengah malam.
“Dasar
sinting!!” seloroh Kanaya dengan diiringi sebuah senyuman.